Selasa, 18 September 2012

SEWA AL-IJARAH DAN AL-IJARAH AL-MUNTAHIA BIT TAMLIK



A.    Al-ijarah (Sewa)
1.      Pengertian Sewa
Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I berpendapat ijarah berarti upah mengupah[1]. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa[2].
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”.
Undang undang sipil; Islam Kerajaan Uni Emirat Arab mendefinisikan ijarah sebagai berikut: “ ijarah atau sewa yaitu memberi penyewa kesempatan untuk mengambil pemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang telah disepakati bersama”[3].
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة  (menjual manfaat)[4].
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi[5]. Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian[6].
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya atau jasa seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain sebagai berikut:
1)      Menurut Hanafiyah
عقد يفيد تمليك منفعة معلومة مقصودة من العين المستأجرة بعوض
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.
2)      Menurut Malikiyah
تسمية التعاقد على منفعة الآدمي و بعض المنقولان
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”[7].
3)      Menurut Syafi’iyah
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”[8].
4)      Menurut Idris Ahmad
Bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu[9].
5)      Menurut Sayyid Sabiq
“Suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian”.
Al-ijarah adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri[10].
Menurut Fatwa Dewan Syariah  Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat)atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri[11].
Beberapa contoh kontrak ijarah (pemilikan manfaat) seperti :
1.      Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah untuk ditempati, atau mobil untuk dikendarai.
2.      Manfaat yang berasal karya seperti hasil karya seorang insinyur bangun­an, tukang tenun, tukang pewarna, penjahit, dll.
3.      Manfaat yang berasal dari skill/keahlian individu seperti pekerja kantor, pembantu rumah tangga, dll. 
Sementara itu, menyewakan pohon untuk dimanfaatkan buahnya, menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan termasuk kategori ijarah karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali barang-barang tersebut akan habis dikonsumsi.

2.      Landasan Hukum
a.      Al- Qur’an (al-baqarah  : 233)[12]
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan

b.      Al- Hadits
·         Hadist (H.R. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”, (H.R. Bukhari dan Muslim)
·         Hadist (H.R. Ibnu Majjah)
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
·      Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
·      Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
c.         Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
·      Kaidah fiqh
Artinya : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalilyang mengharamkannya.
·      Kaidah fiqh
Artinya : Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harusdidahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
d.        Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :
·       Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
·       Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam sumur dapat juga disewakan.
·       Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.

e.         Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah
a.    Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.    Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebutmu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah.

B.     Hak Dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja kewajiban  penyewa dan yang menyewakan? Yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat dipergunakan secara optimal untuk penyewa. Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat memperbaiinya, penyewa mempuyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya, apakah harga sewa masih harus dibayar penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh. Sebagian ulama lain berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syara atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh[13].
  
C.    Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah :[14]
a)      Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
b)      Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).
c)      Sighat yaitu ijab dan qabul.
Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :
a)      Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
b)      Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.
c)      Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
d)     Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila asset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.

D.    Manfaat dan Resiko yang harus Diantisipasi
Manfaat dari transaksi al-ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok . adapun resiko yang mungkin terjadi dalam al-ijarah adalah :
ü  Default, nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja
ü  Rusak, aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah.
ü  Berhenti, nasabah berhenti ditengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut\

E.     Pembayaran Sewa dan Upah
Jika ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya waktu berakhirnya pekerjaan, jika akad sudah berlangsung dan tidak diisyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada penentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah yang diserahkan upahnya secara berangsur, sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri, jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaannya. Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dikatakan dengan jelas siapa yang menanggung biaya pemelihAraan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan  jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas.

F.     Syarat Ujrah (fee, bayaran sewa)
      Harus termasuk dari harta yang halal.
      Harus diketahui jenis, macam dan satuannya.
      Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari kemiripan riba fadhl.
      Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.

G.    Menyewa Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad seperti yang disewakan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau tersebut disewakan lagi timbul Musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan membajak pula.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (Mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian Musta;jir, maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri, seperti menyewakan mobil, kemudian mobil itu hilang atau di curi karena di simpan bukan pada tempatnya.

H.    Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Di dalam ijarah, akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang di wajibkan fasakh (batal).
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
·         Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
·         Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
·         Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;
·          Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan;
·         Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

I.       Pengembalian Sewa
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir harus melepaskan barang sewaan.

J.      Aplikasi dalam Perbankan
Bank islam yang mengoperasikan produk al-ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun finasial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank tersebut lebih banyak menggunakan al-iarah al-muntahian bit-tamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan[15].

K.    Teknik Perbankan al-Ijarah
1.      Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat jadi, dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaan terletak pada objek barang, sedangkan pada sewa
2.      Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah, karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan al-Ijarah al-muntahiyah bit-tamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
3.      Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.

L.     Al- Ijarah Al-Muntahaia Bit-Tamlik
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan[16].
Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing.
Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri. Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk kegiatan bank syariah.
Fatwa MUI tentang IMBT
        Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
        Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

M.   Ijarah dan Leasing
Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, sehingga banyak yang menyamakan ijarah dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istilah itu sama-sama mengacu hal ihwal sewa menyewa. Karakteristik yang membedakan antara ijarah dan leasing terletak pada: [17]
a.      Objek
Objek yang disewakan dalam leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja, terbatas pada manfaat barang saja, tidak berlaku untuk manfaat tenaga kerja. Sedangkan objek yang disewakan dalam ijarah bisa berupa barang dan jasa/tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa dan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah mengupah. Objek yang disewakan dalam ijarah adalah manfaat barang dan manfaat tenaga kerja.
Dengan demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada leasing.
b.      Metode Pembayaran
Dari segi metode pembayaran, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran yaitu yang bersifat not contingent to formance (pembayaran tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa). Pembayaran ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingent to formance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to formance). Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah, gaji, sewa. Sedangkan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ju’alah atau success fee.




c.       Pemindahan Kepemilikan (Transfer of Title)
Dari aspek perpindahan kepemilikan dalam leassing dikenal dua jenis yaitu operating lease dimana tidak terjadi pemindahan kepemilikan baik di awal maupun di akhir periode sewa dan financial lease. Ijarah sama seperti operating lease yakni tidak ada transfer of title baik di awal maupun di akhir periode, namun pada akhir sewa dapat dijual barang yang disewakan kepada nasabah yang dalam perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahia bi al-tamlik. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.

Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, kita dapat simpulkan bahwa pengertian al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.
Teknik perbankan al-Ijarah
1)      Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat
2)      Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah
3)      Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.
Transaksi al-Ijarah al-Muntahia bit-thamlik adalah sejenis perpaduan kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
Resiko yang harus diantisipasi:
  1. Default : Nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja
  2. Rusak    : Aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah
  3. Berhenti : Nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.
Perbedaam ijarah dan Leasing terletak pada :
·         Objek
·         Metode pembayaran
·         Pemindahan kepemilikan



DAFTAR PUSTAKA

·         Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, Gema Insani, Jakarta :2001, cet-1
·         Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986.
·         Abd. Al-Rahman Al-Jaziri, Fiqh ‘Ala madzahibil Arba’ah Juz III, Maktabah Tijariyah al-Kubro, Mesir, 1969.
·         Muhammad Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj Juz II
·         Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1994.
·         Rahmat Syafi’I, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2004.
·         Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan keuangan, PT Raja Grafido Persada, Jakarta :2004, cet-2.
·         Drs. H. Muh, Rifa’i; Ilmu Fiqh Islam, Toha Putra, Semarang: 1978.
·         Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Al-Isla, Bulan Bintang, Jakarta: 1976.
·         Drs. H. Muh, Rifa’i; Mutiara Fiqh, Toha Putra, Semarang: 1978.
·         Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta: 2004


[1] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986, hlm. 139
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 203
[3] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm 34
[4] Rahmat Syafi’I, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004 hlm. 121
[5] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , terjemah Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 203
[6] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1994, hlm. 303
[7] Abd. Al-Rahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala madzahibil Arba’ah Juz III, Maktabah Tijariyah al-Kubro, Mesir, 1969, hlm. 94-97
[8] Muhammad Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj Juz II, hlm. 332
[9] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986, hlm. 139
[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta :2001, Gema Insani), cet-1, hml. 117
[11] Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan keuangan, (jakarta :2004, PT Raja Grafido Persada), cet-2, hml. 138
[12] Ibid, bank syariah dari teori dan praktik,  hlm. 117-118
[13] Ibid, bank islam analisis fiqih dan keuangan, hml. 138
[14] http://muharsblogsml.blogspot.com/2010/05/makalah-fiqh-muamalat-ii-ijarah.html
[15] Ibid, bank islam analisis fiqih dan keuangan,  hml 119
[16] Ibid, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, hml. 118
[17] Ibid, bank islam, hml.140-44

1 komentar:

  1. terimakasih ilmunya :)
    Saya baca sebagian besar untuk memahami IMBT

    BalasHapus