Selasa, 18 September 2012

asuransi syariah


BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan asuransi tidak berhenti hanya pada transaksinya, melainkan juga pada investasinya. Karena sebagian besar asuransi yang dibeli masyarakat justru yang mengandung investasi (asuransi dwiguna atau two in one). Selama ini, asuransi konvensional menginvestasikan dana yang didapatnya tanpa mempertimbangkan lagi faktor halal-haram.
Tentunya ini menjadikan uang hasil investasi yang diterima nasabah juga menjadi tidak terjaga kehalalannya. Ini juga yang menjadi salah satu perbedaan lagi dari asuransi syariah. Investasi pada asuransi syariah diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah dari Majelis Ulama Indonesia (DPS-MUI) untuk memastikan bahwa semua mekanisme asuransi dan alokasi investasinya tidak bertentangan dengan hukum syariah. Dimana pada asuransi syariah tidak mengandung unsur-unsur seperti maysir, gharar, maupun riba, agar hasil yang kita dapatkan menjadi halal, aman, dan barokah.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      DEFINISI INVESTASI
Investasi adalah menanamkan atau menepatkan aset, baik berupa harta ataupun dana, pada sesuatu yang diharapkan akan memberikan hasil pendapatkan atau akan meningkatkan nilainya dimasa mendatang[1].
Investasi keuangan menurut syariah dapat berkaitan dengan kegiatan perdagangan atau kegiatan usaha yang halal, namun harus terkait secara langsung dengan suatu aset atau kegiatan usaha yang spesifik dan menghasilkan manfaat, karena hanya atas manfaat tersebut dapat dilakukan bagi hasil.
Kegiatan pembiayaan dan investasi keuangan menurut syariah pada prinsipnya adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemilik Harta (Investor) terhadap Pemilik Usaha (Emiten) untuk memberdayakan Pemilik Usaha dalam melakukan usahanya dimana investor berharap memperoleh manfaat tertentu. Karena itu, kegiatan pembiayaan dan investasi keuangan pada dasarnya sama dengan kegiatan usaha lainnya, yaitu memelihara prinsip kehalalan dan keadilan[2].
Oleh karena itu, tujuan utama dari kebijakan investasi  dalam suatu perusahaan  adalah untuk implementasi rencana program yang dibuat agar dapat mencapat return positif, dengan probabilitas paling tinggi, dari aset yang tersedia untuk diinvestasikan. Kebijakan investasi yang diambil, mempertimbangkan hubungan langsung antara return dan resiko untuk setiap alternatif resiko. Review dan evaluasi bulanan termasuk dalam kebijakan yang diambil. Juga mempertimbangkan nilai tambah (value added) bagi setiap fund dalam setiap proses pengambilan keputusan investasi[3].

2.      LANDASAN SYAR’I INVESTASI

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.(an-Nisaa : 29).
“Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Dan, kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan mengaramkan yang halal” (HR Tirmidzi dari Amr bin ‘Auf).
Rasulullah sendiri tidak setuju membiarkan sumber daya modal tidak produktif dengan mengatakan : “Berikanlah kesempatan kepada mereka yang memiliki tanah untuk memanfaatkannya dengan caranya sendiri dan jika hal itu tidak dilakukannya,  hendaknya diberikan pada orang lain agar memanfaatkannya (H.R. Muslim).

3.      PRINSIP-PRINSIP DASAR INVESTASI
Prinsip dasar investasi asuransi syariah adalah bahwa perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi terhadap dana yang terkumpul dari peserta, dan investasi yang dimaksud harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Keuntungan dalam pandangan Islam memiliki aspek yang holistik.
Ø  Aspek material atau finansial; investasi hendaknya menghasilkan manfaat finansial yang kompetitif dibandingkan dengan investasi lainnya.
Ø  Aspek kehalalan; investasi harus terhindar dari bidang ataupun prosedur yang syubhat dan haram. Suatu bentuk investasi yang tidak halal hanya akan membawa pelakunya kepada kesesatan serta sikap dan perilaku deskruptif secara individu maupun sosial.
Ø  Aspek sosial dan lingkungan; investasi hendaknya memberikan kontribusi positif bagi masyarakat banyak dan lingkungan sekitar, baik untuk generasi saat ini maupun yang akan datang.
Ø  Aspek pengharapan kepada ridha Allah; investasi tertentu itu dipilih dalam rangka mencapai ridha Allah.

4.      INVESTASI YANG ISLAMI
Sebagai agama yang komprehensif dan proposional, Islam menetapkan prinsip pokok dalm investasi. Seorang muslim hendaknya memperhatikan dan menerapkannya agar yang bersangkutan mendapat keuntungan yang sejati. Yaitu keuntungan duniawi yang penuh keberkahan dan keuntungan akhirat kelak.
Prinsip-prinsip tersebut ialah sebagai berikut :[4]
1.         Rabbani.
2.         Halal, yaitu terhindar dari yang syubhat dan haram.
3.         Maslahah, bermanfaat bagi masyarakat.

A.    Rabbani
Artinya, seorang investor meyakini bahwa dirinya, dan yang diinvestasikannya, keungtungan dan kerugiannya, serta semua pihak yang terlibat didalamnya adalah kepunyaan Allah. Manusia hanya mengambil dan melaksanakannya dalam kehidupan dunia ini saja, juga sebagai bekal untuk fase kehidupan berikutnya yang abadi.
Secara teknis prinsip ini akan memosisikan Allah sebagai saksi dan pengawas, sedangkan para pihak yang bertransaksi senantiasa ingat kepada Allah dengan sifat-sifat Maha Kuasa dan Maha Sempurna yang dimiliki-Nya.

B.     Halal
Investasi yang halal yaitu investasi yang yang berbagai aspeknya termasuk dalam lingkup yang diperoleh ajaran Islam. Aspek kehalalan tersebut harus mencakup hal-hal berikut:
1)      Niat atau Motivasi.
Motivasi yang halal ialah transaksi yang berorientasi kepada hasil yang win-win, yaitu saling memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi.
2)      Transaksi.
Transaksi bisnis yang dibenarkan adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Pihak-pihak yang bertransaksi adalah mereka yang memiliki kesadaran dan pemahaman akan bentuk dan konsekuensi transaksi tersebut, di samping memiliki hak untuk melakukan transaksi, baik atas namanya sendiri, maupun atas nama orang lain.
b.      Barang atau jasa yang ditransaksikan adalah benda atau jasa yang halal, yang diketahui karakteristiknya oleh para pihak yang terlibat.
c.       Bentuk transaksi jelas, baik secara lisan maupun tulisan, dan dipahami oleh para pihak yang terlibat.
d.      Adanya kerelaan dari para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.
3)      Prosedur Pelaksanaan Transaksi.
Sesudah dilaksanakan akad antara pihak yang berbisnis, maka pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dari kekuatan awal. Masing-masing pihak harus bersikap amanah dan profesional. Tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kecurangan, apalagi wanprestasi.
4)      Jenis Barang atau Jasa yang di Transaksikan.


5)      Penggunaan Barang atau Jasa yang Ditransaksikan.
Kehalalan itu tidak cukup hanya pada barang atau jasa, melainkan juga termasuk penggunaannya. Oleh karena itu, penggunaan yang tidak benar atau untuk tujuan yang tidak benar, meskipun benda atau jasa tersebut pada asalnya adalah halal, maka ia dapat jatuh ke haram.

C.    Maslahah (Bermanfaat bagi Masyarakat)
Para pihak yang terlibat dalam investasi, masing-masing harus dapat memperoleh manfaat sesuai dengan porsinya. Dengan kata lain, manfaat tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Manfaat yang timbul, harus dirasakan oleh pihak yang bertransaksi.
2.      Manfaat yang timbul, harus dapat dirasakan oleh masyarakat pada umumnya.
Seluruh tindakan dan dealing serta transaksi yang memungkinkan untuk mendatangkan keuntungan yang sedikit secara sementara, namun akhirnya akan membawa kerugian yang demikian banyak dan tidak bisa diperbaiki, dianggap oleh al Qur’an sebagai bisnis yang sungguh-sungguh merugikan dan tidak membawa maslahah. Kerugian ini diasumsikan sebagai merusak proporsi karena perbendaharaan akhirat yang abadi diperdangkan dengan kenikmatan dunia yang fana dan terbatas[5].
Hal yang sama terkutuknya adalah praktek-praktek investasi yang di permukaan tampak menghasilkan bagi segelintir orang, namun sebenarnya pada saat yang sama menhancurkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Semua jenis investasi ini akan berakhir dengan kerugian dalam bisnis.

D.    Kriteria Investasi Syariah
     Kriteria yang dikemukakan oleh fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) untuk pedoman pelaksanaan investasi syariah adalah sebagai berikut :
Dengan kriteria yang terpenuhi maka seorang muslim dapat berinvestasi ke dalam bentuk usaha sebagai berikut :
1.   Industri
Seorang muslim dapat menginvestasikan dananya pada proyek pembangunan di sektor riil atau perdagangan yang diperbolehkan oleh syari’ah kecuali industri yang bergerak atau yang memproduksi barang haram, misalnya minuman keras, makanan dari daging babi, jasa keuangan dengan dasar bunga, industri perjudian, pelacuran, senjata gelap, memproduksi film atau gambar porno, penyalahgunaan obat-obatan yang di larang dan sebagainya.

2.      Perusahan yang mendapatkan dana pembiayaan atau sumber dana dari hutang tidak lebih dari 30 % dari rasio modalnya.
Di sini Islam melindungi umatnya dari kesengsaraan hutang. Rasulullah sendiri pernah bersabda : “Orang yang berhutang tidak pernah tenang dalam tidurnya”. Bahkan Al-Qur’an menyebutkan dalam Surat Al-Baqarah : 280, di mana Allah memerintahkan kreditur untuk memberikan keringanan kepada debitur jika mengalami kesulitan. Disaming itu rasio hutang ini menurut ulama dapat menimbulkan kondisi gharar dan maysir yang dilarang karena menimbulkan risiko peningkatan ketidakpastian transaksi.

              3.   Pendapatan bunga yang diperoleh perusahaan tidak lebih dari 15 %.
Diperbolehkannya investasi pada perusahaan yang pendapatannya mengandung riba, karena semua bidang ekonomi yang saat ini menjadi partner lembaga keuangan syariah adalah lembaga konvensional yang memberikan imbalan jasa bunga.
Walaupun demikian, yang perlu diperhatikan dan digarisbawahi adalah bahwa dalam syariah Islam barang haram dengan halal tidak dapat dicampurkan adukkan. Bila dalam suatu akad keuangan yang halal terdapat bagian yang diragukan kehalalannya, maka dilakukan pemurnian (purifying) atas hasil usaha tersebut. Jadi, harus transparan jika perusahaan itu memang menerima jasa bunga atau pendapatan non halal lainnya.

4.   Perusahaan yang memiliki aktiva kas atau piutang yang jumlah piutang dagangnya atau total piutannya tidak lebi dari 50 %.
Fatwa ini dimaksudkan bahwa setiap keragu-raguan (syubhat) dalam Islam hukumnya makruh. Dalam piutang bisa saja terjadi piutang ragu-ragu atau pitang yang tidak tertagih. Islam melindungi harta pemiliknya jangan sampai piutang ragu-ragu dan piutang tidak tertagih akan mengurangi harta yang seharusnya menjadi haknya. Selain itu ulama menilai bahwa rasio piutang seperti juga rasio hutang terhadap pendapatan dapat menimbulkan kondisi gharar dan maysir yang mengakibatkan meningkatnya rasio ketidakpastian pendapatan.

5.      INVESTASI YANG TERLARANG
Investasi yang dilarang secara syar’i dikelompok ke dalam dua macam kategori :[6]
Ø  Investasi yang Syubhat.
Ø  Investasi yang Haram.
1)      Haram pada Sistem dan Prosedur.
a.       Pencurian.
b.      Mempermainkan harga.
c.       Penipuan.
d.      Menimbun barang.
e.       Perjudian.
2)      Haram pada Produk dan Jasa.
a.       Perzinaan dan prostitusi.
b.      Pornografi dan seni keindahan tubuh.
c.       Riba.
d.      Khamar.
e.       Makanan haram.
f.       Industri senjata.

6.      PENGELOLAAN INVESTASI PADA ASURANSI SYARIAH
Salah satu bentuk pengelolaan dana asuransi yang paling dominan adalah menginvestasikan dana yang terkumpul melalui premi. Pihak asuransi dapat menginvestasikan dana tersebut dalam bentuk investasi apa saja selama investasi itu tidak mengandung salah satu unsur-unsur yang diharamkan. Upaya untuk mengabaikan prinsip ini, akan mengakibatkan investasi tersebut diharamkan menurut syariat Islam[7]. 
Sekiranya investasi tersebut dilakukan dalam bentuk penyertaan modal dalam sebuah perusahaan, maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa perusahaan tersebut tidak memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan. Seandainya investasi dalam bentuk deposito, maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa bank tepat dana asuransi tersebut didepositokan adalah bank-bank yang tidak beroprasi pada sistem bunga, tetapi dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Begitu pula usaha-usaha yang dimana didalamnya terdapat unsur-unsur maksiat, meskipun akan mendapat keuntungan yang sangat besar, investasi seperti ini tetap tidak dibenarkan.

A.    Portofolio Investasi
Menurut Lawrence dan Michael, “a portofolio is a collection of investment vehicles assembled to meet a common investment goal[8]. Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa suatu portofolio adalah kumpulan bentuk investasi yang terpadu untuk tujuan mendapatkan keuntungan investasi. Tujuan utama dari pembentukan suatu bentuk portofolio investasi adalah tidak lain agar mendapatkan hasil yang optimal dengan resiko yang minimal.
Apabila investor tersebut adalah suatu institusi seoerti halnya perusahaan asuransi jiwa, maka tujuan utama portofolio investasi adalah untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi dengan tingkat risiko yang kecil untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis (pembayaran klaim) maupun untuk pertumbuhan perusahaan[9].
Dalam suatu investasi di industri asuransi, seorang investor memikul tanggung jawab diversible risk dan non-diversible risk[10]. Oleh karena itu, agar sebuah bisnis sukses dan menghasilkan untung, hendaknya bisnis itu didasarkan atas keputusan yang sehat, bijaksana, dan hati-hati. Hasil yang akan dicapai dengan pengambilan keputusan yang sehat dan bijak ini akan nyata dan tahan lama.



Menurut Al-Qur’an, bisnis yang menguntungkan adalah sebuah bisnis yang keuntungannya bukan hanya terbatas untuk kehidupan di dunia ini. Namun, keuntungan itu juga bisa dinikmati diakhirat kelak dengan keuntungan yang berlipat ganda. Al-Qur’an berkali-kali mengatakan bahwa kenikmatan di dunia ini jika dibandingkan dengan kenikmatan yang ada di alam akhirat tidaklah ada artinya sama sekali[11].

B.     Instrumen Investasi pada Asuransi Syari’ah
Instrumen investasi syari’ah di Indonesia saat ini masih dalam tahap tumbuh dan berkembang. Beberapa instrumen investasi asuransi syari’ah atau islami yang sudah ada saat ini dan menjadi outlet investasi bagi asuransi syariah adalah sebagai berikut:
Ø    Investasi ke bank-bank umum syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri.
Ø    Investasi ke bank umum yang memiliki cabang syariah, seperti BNI syariah, BRI syariah, BII syariah, Bank IFI syariah, dan sebagainya.
Ø    Investasi ke Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
Ø    Investasi langsung ke perusahaan-perusahaan yang tidak menjual barang-barang haram atau maksiat dengan sistem mudharabah, wakalah, wadiah, dan sebagainya.
Ø    Investasi ke lembaga keuangan syariah lainnya, seperti reksadana syariah, modal ventura syariah, leasing syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah di BEJ, koperasi syariah, dan sebagainya.

7.      PERSAMAAN DAN PERBEDAAN INVESTASI ASURANSI KONVENSIONAL DAN INVESTASI ASURANSI SYARIAH.
Persamaan pelaksanaan investasi dana asuransi pada asuransi konvensional dan asuransi syariah yaitu pada tujuan dalam menjalankan fungsi investasi, untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan berupa hasil dari investasi dana asuransi dan juga pada pedoman dalam menjalankan kegiatan investasi.

Pada asuransi konvensional perbedaannya yaitu :
1.    Prinsip yang digunakan atas dasar untung/rugi dengan sistem bunga.
2.    Pengelolaan dana, semua dana peserta (premi) yang terkumpul menjadi satu dan statusnya adalah dana milik perusahaan yang bebas digunakan oleh perusahaan.
3.    Perikataannya yang dibuat di awal dengan penentuan persentase bunga bagi nasabah asuransi.
4.    Yang diutamakan adalah keuntungan semata.
Pada asuransi syariah, perbedaannya adalah :
1.    Prinsip yang digunakan berdasarkan hukum Islam bahwa perusahaan selaku pemegang amanah (mudharib) yang dipercaya pemilik dana (shahibul mal) melakukan investasi terhadap dana tersebut.
2.    Dalam berinvestasi menggunakan konsep sistem mudharabah
3.    Asuransi syariah harus mematuhi fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
4.    Pengelolaan dana atas dasar saling bertanggung jawab dan tolong menolong.
5.    Keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi dibagi dua antara perusahaan dan peserta asuransi.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Prinsip pokok dalam investasi syariah adalah Rabbani, Halal, dan Maslahah.
Investasi yang dilarang secara syar’i dikelompok ke dalam dua macam kategori :
Ø Investasi yang Syubhat.
Ø Investasi yang Haram.
Apabila investasi dilakukan dalam bentuk penyertaan modal dalam sebuah perusahaan, maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa perusahaan tersebut tidak memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan. Seandainya investasi dalam bentuk deposito, maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa bank tepat dana asuransi tersebut didepositokan adalah bank-bank yang tidak beroprasi pada sistem bunga, tetapi dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
portofolio adalah kumpulan bentuk investasi yang terpadu untuk tujuan mendapatkan keuntungan investasi. Tujuan utama dari pembentukan suatu bentuk portofolio investasi adalah tidak lain agar mendapatkan hasil yang optimal dengan resiko yang minimal.
instrumen investasi asuransi syari’ah atau islami yang sudah ada saat ini dan menjadi outlet investasi bagi asuransi syariah adalah sebagai berikut:
Ø    Investasi ke bank-bank umum syariah
Ø    Investasi ke bank umum yang memiliki cabang syariah
Ø    Investasi ke Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
Ø    Investasi langsung ke perusahaan-perusahaan yang tidak menjual barang-barang haram atau maksiat dengan sistem mudharabah, wakalah, wadiah, dan sebagainya.
Ø    Investasi ke lembaga keuangan syariah lainnya


DAFTAR PUSTAKA
Iwan P. Pontjowinoto, Prinsip Syariah Di Pasar Modal (Pandangan Praktisi), 2003, Modal Publications, Jakarta.
Iggi H Achsien, Investasi Syariah Dipasar Modal, 2000, Gramedia, Jakarta.
Endy Astiwara, Investasi Islam Di Pasar Modal (Tesis), 1999, Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, The Internasional Institute Of Islamic Thought, Pakistan.
Ali mustafa Ya’qub. Pengelolaan Dana Asuransi Syari’ah. 2001 (makalah)
Lawrence J. Gitman & Michael D. Joehnk, Fundamental Of Investing, Harper & Row Publisher, New York, 1981.
Evert B. Sumual, Aplikasi Manajemen Sains terhadap Optimalisasi Investasi di Sebuah Perusahaan Asuransi Jiwa, AAMAI, Jakarta, 2000.
Santoso, Budi Totok, Triandaru Sigit, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Edisi 2 ,Salemba Empat, Jakarta, 2006
Kashmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainya, Edisi Ke Enam PT Raja grafindo Persada, Jakarta.2002
Darmawi, Herman, Pasar Financial Dan Lembaga-Lembaga Finansial, Bumi Akasara, Jakarta, 2006.


[1] Iwan P. Pontjowinoto, Prinsip Syariah Di Pasar Modal (Pandangan Praktisi), 2003, Modal Publications, Jakarta, hlm. 45.
[2] Ibid hlm. 37.
[3] Iggi H Achsien, Investasi Syariah Dipasar Modal, 2000, Gramedia, Jakarta, hlm. 126.
[4] Endy Astiwara, Investasi Islam Di Pasar Modal (Tesis), 1999, Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Hlm. 104-111.
[5] Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, The Internasional Institute Of Islamic Thought, Pakistan, Hlm. 44
[6] Dikutip dari Endy Muhammad Astiwara, op.cit, hlm. 111-139.
[7] Ali mustafa Ya’qub. Pengelolaan Dana Asuransi Syari’ah. 2001 (makalah)
[8] Lawrence J. Gitman & Michael D. Joehnk, Fundamental Of Investing, Harper & Row Publisher, New York, 1981, hlm. 554
[9] Evert B. Sumual, Aplikasi Manajemen Sains terhadap Optimalisasi Investasi di Sebuah Perusahaan Asuransi Jiwa, AAMAI, Jakarta, 2000, hlm. 7.
[10] Lawrence J. Gitman & Michael D. Joehnk. Op. Cit, hlm. 124 & 555.
[11] Surah al-Anfaal: 67, ar-Ra’d: 26, al-Israa: 19, al-Kahfi: 46.

1 komentar: