BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan
asuransi tidak berhenti hanya pada transaksinya, melainkan juga pada
investasinya. Karena sebagian besar asuransi yang dibeli masyarakat justru yang
mengandung investasi (asuransi dwiguna atau two in one). Selama ini, asuransi
konvensional menginvestasikan dana yang didapatnya tanpa mempertimbangkan lagi
faktor halal-haram.
Tentunya
ini menjadikan uang hasil investasi yang diterima nasabah juga menjadi tidak
terjaga kehalalannya. Ini juga yang menjadi salah satu perbedaan lagi dari
asuransi syariah. Investasi pada asuransi syariah diawasi oleh Dewan Pengawas
Syariah dari Majelis Ulama Indonesia (DPS-MUI) untuk memastikan bahwa semua
mekanisme asuransi dan alokasi investasinya tidak bertentangan dengan hukum
syariah. Dimana pada asuransi syariah tidak mengandung unsur-unsur seperti
maysir, gharar, maupun riba, agar hasil yang kita dapatkan menjadi halal, aman,
dan barokah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
DEFINISI INVESTASI
Investasi adalah menanamkan atau menepatkan aset, baik berupa harta
ataupun dana, pada sesuatu yang diharapkan akan memberikan hasil pendapatkan
atau akan meningkatkan nilainya dimasa mendatang[1].
Investasi keuangan menurut syariah dapat berkaitan dengan kegiatan
perdagangan atau kegiatan usaha yang halal, namun harus terkait secara langsung
dengan suatu aset atau kegiatan usaha yang spesifik dan menghasilkan manfaat,
karena hanya atas manfaat tersebut dapat dilakukan bagi hasil.
Kegiatan pembiayaan dan investasi keuangan menurut syariah pada
prinsipnya adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemilik Harta (Investor)
terhadap Pemilik Usaha (Emiten) untuk memberdayakan Pemilik Usaha dalam
melakukan usahanya dimana investor berharap memperoleh manfaat tertentu. Karena
itu, kegiatan pembiayaan dan investasi keuangan pada dasarnya sama dengan
kegiatan usaha lainnya, yaitu memelihara prinsip kehalalan dan keadilan[2].
Oleh karena itu, tujuan utama dari kebijakan investasi dalam suatu perusahaan adalah untuk implementasi rencana program
yang dibuat agar dapat mencapat return positif, dengan probabilitas
paling tinggi, dari aset yang tersedia untuk diinvestasikan. Kebijakan
investasi yang diambil, mempertimbangkan hubungan langsung antara return
dan resiko untuk setiap alternatif resiko. Review dan evaluasi bulanan termasuk
dalam kebijakan yang diambil. Juga mempertimbangkan nilai tambah (value
added) bagi setiap fund dalam setiap proses pengambilan keputusan
investasi[3].
2.
LANDASAN SYAR’I INVESTASI
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kalian
membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada
kalian.” (an-Nisaa : 29).
“Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Dan, kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal dan mengaramkan yang halal” (HR Tirmidzi dari Amr bin ‘Auf).
Rasulullah sendiri tidak setuju membiarkan sumber daya
modal tidak produktif dengan mengatakan : “Berikanlah kesempatan kepada
mereka yang memiliki tanah untuk memanfaatkannya dengan caranya sendiri dan
jika hal itu tidak dilakukannya,
hendaknya diberikan pada orang lain agar memanfaatkannya (H.R.
Muslim).
3.
PRINSIP-PRINSIP DASAR INVESTASI
Prinsip
dasar investasi asuransi syariah adalah bahwa perusahaan selaku pemegang amanah
wajib melakukan investasi terhadap dana yang terkumpul dari peserta, dan
investasi yang dimaksud harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Keuntungan
dalam pandangan Islam memiliki aspek yang holistik.
Ø Aspek material
atau finansial; investasi hendaknya menghasilkan manfaat finansial yang kompetitif
dibandingkan dengan investasi lainnya.
Ø Aspek
kehalalan; investasi harus terhindar dari bidang ataupun prosedur yang syubhat
dan haram. Suatu
bentuk investasi yang tidak halal hanya akan membawa pelakunya kepada kesesatan
serta sikap dan perilaku deskruptif secara individu maupun sosial.
Ø Aspek sosial
dan lingkungan; investasi hendaknya memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat banyak dan lingkungan sekitar,
baik untuk generasi saat ini maupun yang akan datang.
Ø Aspek
pengharapan kepada ridha Allah; investasi tertentu itu dipilih dalam rangka
mencapai ridha Allah.
4.
INVESTASI YANG ISLAMI
Sebagai
agama yang komprehensif dan proposional, Islam menetapkan prinsip pokok dalm
investasi. Seorang muslim hendaknya memperhatikan dan menerapkannya agar yang
bersangkutan mendapat keuntungan yang sejati. Yaitu keuntungan duniawi yang
penuh keberkahan dan keuntungan akhirat kelak.
Prinsip-prinsip
tersebut ialah sebagai berikut :[4]
1.
Rabbani.
2.
Halal,
yaitu terhindar dari yang syubhat dan haram.
3.
Maslahah,
bermanfaat bagi masyarakat.
A.
Rabbani
Artinya, seorang investor meyakini bahwa dirinya, dan yang diinvestasikannya,
keungtungan dan kerugiannya, serta semua pihak yang terlibat didalamnya adalah
kepunyaan Allah. Manusia hanya mengambil dan melaksanakannya dalam kehidupan
dunia ini saja, juga sebagai bekal untuk fase kehidupan berikutnya yang abadi.
Secara teknis prinsip ini akan memosisikan Allah sebagai saksi dan
pengawas, sedangkan para pihak yang bertransaksi senantiasa ingat kepada Allah
dengan sifat-sifat Maha Kuasa dan Maha Sempurna yang dimiliki-Nya.
B.
Halal
Investasi yang halal yaitu investasi
yang yang berbagai aspeknya termasuk dalam lingkup yang diperoleh ajaran Islam.
Aspek kehalalan tersebut harus mencakup hal-hal berikut:
1)
Niat atau Motivasi.
Motivasi yang halal ialah transaksi yang berorientasi kepada hasil
yang win-win, yaitu saling memberikan
manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi.
2)
Transaksi.
Transaksi bisnis yang dibenarkan adalah yang memenuhi syarat
sebagai berikut :
a.
Pihak-pihak
yang bertransaksi adalah mereka yang memiliki kesadaran dan pemahaman akan
bentuk dan konsekuensi transaksi tersebut, di samping memiliki hak untuk
melakukan transaksi, baik atas namanya sendiri, maupun atas nama orang lain.
b.
Barang
atau jasa yang ditransaksikan adalah benda atau jasa yang halal, yang diketahui
karakteristiknya oleh para pihak yang terlibat.
c.
Bentuk
transaksi jelas, baik secara lisan maupun tulisan, dan dipahami oleh para pihak
yang terlibat.
d.
Adanya
kerelaan dari para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.
3)
Prosedur Pelaksanaan Transaksi.
Sesudah dilaksanakan akad antara pihak yang berbisnis, maka
pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dari kekuatan awal. Masing-masing pihak
harus bersikap amanah dan profesional. Tidak boleh melakukan tindakan-tindakan
yang mengarah kepada kecurangan, apalagi wanprestasi.
4)
Jenis Barang atau Jasa yang di Transaksikan.
5)
Penggunaan Barang atau Jasa yang Ditransaksikan.
Kehalalan itu tidak cukup hanya pada barang atau jasa, melainkan
juga termasuk penggunaannya. Oleh karena itu, penggunaan yang tidak benar atau
untuk tujuan yang tidak benar, meskipun benda atau jasa tersebut pada asalnya
adalah halal, maka ia dapat jatuh ke haram.
C.
Maslahah (Bermanfaat bagi Masyarakat)
Para pihak yang terlibat dalam investasi, masing-masing harus dapat
memperoleh manfaat sesuai dengan porsinya. Dengan kata lain, manfaat tersebut
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
Manfaat
yang timbul, harus dirasakan oleh pihak yang bertransaksi.
2.
Manfaat
yang timbul, harus dapat dirasakan oleh masyarakat pada umumnya.
Seluruh tindakan dan dealing serta transaksi yang
memungkinkan untuk mendatangkan keuntungan yang sedikit secara sementara, namun
akhirnya akan membawa kerugian yang demikian banyak dan tidak bisa diperbaiki,
dianggap oleh al Qur’an sebagai bisnis yang sungguh-sungguh merugikan dan tidak
membawa maslahah. Kerugian ini diasumsikan sebagai merusak proporsi karena
perbendaharaan akhirat yang abadi diperdangkan dengan kenikmatan dunia yang
fana dan terbatas[5].
Hal yang sama terkutuknya adalah praktek-praktek investasi yang di
permukaan tampak menghasilkan bagi segelintir orang, namun sebenarnya pada saat
yang sama menhancurkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Semua jenis
investasi ini akan berakhir dengan kerugian dalam bisnis.
D. Kriteria Investasi Syariah
Kriteria yang dikemukakan
oleh fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) untuk pedoman pelaksanaan investasi
syariah adalah sebagai berikut :
Dengan kriteria yang terpenuhi maka seorang muslim dapat berinvestasi ke dalam bentuk usaha sebagai berikut :
1.
Industri
Seorang muslim dapat menginvestasikan dananya pada proyek
pembangunan di sektor riil atau perdagangan yang diperbolehkan oleh syari’ah
kecuali industri yang bergerak atau yang memproduksi barang haram, misalnya
minuman keras, makanan dari daging babi, jasa keuangan dengan dasar bunga,
industri perjudian, pelacuran, senjata gelap, memproduksi film atau gambar
porno, penyalahgunaan obat-obatan yang di larang dan sebagainya.
2.
Perusahan yang mendapatkan
dana pembiayaan atau sumber dana dari hutang tidak lebih dari 30 % dari rasio
modalnya.
Di sini Islam melindungi umatnya dari kesengsaraan
hutang. Rasulullah sendiri pernah bersabda : “Orang yang berhutang tidak pernah tenang dalam tidurnya”. Bahkan
Al-Qur’an menyebutkan dalam Surat Al-Baqarah : 280, di mana Allah memerintahkan
kreditur untuk memberikan keringanan kepada debitur jika mengalami kesulitan.
Disaming itu rasio hutang ini menurut ulama dapat menimbulkan kondisi gharar dan maysir yang dilarang karena menimbulkan risiko peningkatan
ketidakpastian transaksi.
3. Pendapatan bunga yang diperoleh
perusahaan tidak lebih dari 15 %.
Diperbolehkannya investasi
pada perusahaan yang pendapatannya mengandung riba, karena semua bidang ekonomi
yang saat ini menjadi partner lembaga keuangan syariah adalah lembaga
konvensional yang memberikan imbalan jasa bunga.
Walaupun demikian, yang
perlu diperhatikan dan digarisbawahi adalah bahwa dalam syariah Islam barang
haram dengan halal tidak dapat dicampurkan adukkan. Bila dalam suatu akad keuangan yang halal
terdapat bagian yang diragukan kehalalannya, maka dilakukan pemurnian (purifying) atas hasil usaha tersebut. Jadi, harus transparan jika perusahaan itu
memang menerima jasa bunga atau pendapatan non halal lainnya.
4. Perusahaan yang memiliki aktiva
kas atau piutang yang jumlah piutang dagangnya atau total piutannya tidak lebi
dari 50 %.
Fatwa ini
dimaksudkan bahwa setiap keragu-raguan (syubhat)
dalam Islam hukumnya makruh. Dalam piutang bisa saja terjadi piutang ragu-ragu
atau pitang yang tidak tertagih. Islam melindungi harta pemiliknya jangan
sampai piutang ragu-ragu dan piutang tidak tertagih akan mengurangi harta yang
seharusnya menjadi haknya. Selain itu ulama menilai bahwa rasio piutang seperti
juga rasio hutang terhadap pendapatan dapat menimbulkan kondisi gharar dan maysir yang mengakibatkan meningkatnya rasio ketidakpastian
pendapatan.
5.
INVESTASI YANG TERLARANG
Investasi yang dilarang secara syar’i dikelompok ke dalam dua macam
kategori :[6]
Ø Investasi yang Syubhat.
Ø Investasi yang Haram.
1)
Haram pada Sistem dan Prosedur.
a.
Pencurian.
b.
Mempermainkan
harga.
c.
Penipuan.
d.
Menimbun
barang.
e.
Perjudian.
2)
Haram pada Produk dan Jasa.
a.
Perzinaan
dan prostitusi.
b.
Pornografi
dan seni keindahan tubuh.
c.
Riba.
d.
Khamar.
e.
Makanan
haram.
f.
Industri
senjata.
6.
PENGELOLAAN INVESTASI PADA ASURANSI SYARIAH
Salah satu bentuk pengelolaan dana asuransi yang paling dominan
adalah menginvestasikan dana yang terkumpul melalui premi. Pihak asuransi dapat
menginvestasikan dana tersebut dalam bentuk investasi apa saja selama investasi
itu tidak mengandung salah satu unsur-unsur yang diharamkan. Upaya untuk
mengabaikan prinsip ini, akan mengakibatkan investasi tersebut diharamkan menurut
syariat Islam[7].
Sekiranya investasi tersebut dilakukan dalam bentuk penyertaan
modal dalam sebuah perusahaan, maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa
perusahaan tersebut tidak memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan.
Seandainya investasi dalam bentuk deposito, maka pihak asuransi harus
mengetahui bahwa bank tepat dana asuransi tersebut didepositokan adalah
bank-bank yang tidak beroprasi pada sistem bunga, tetapi dengan sistem bagi
hasil (mudharabah). Begitu pula usaha-usaha yang dimana didalamnya terdapat
unsur-unsur maksiat, meskipun akan mendapat keuntungan yang sangat besar,
investasi seperti ini tetap tidak dibenarkan.
A.
Portofolio Investasi
Menurut Lawrence dan Michael, “a portofolio is a collection of
investment vehicles assembled to meet a common investment goal”[8].
Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa suatu portofolio adalah kumpulan
bentuk investasi yang terpadu untuk tujuan mendapatkan keuntungan investasi.
Tujuan utama dari pembentukan suatu bentuk portofolio investasi adalah tidak
lain agar mendapatkan hasil yang optimal dengan resiko yang minimal.
Apabila investor tersebut adalah suatu institusi seoerti halnya
perusahaan asuransi jiwa, maka tujuan utama portofolio investasi adalah untuk
mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi dengan tingkat risiko yang kecil
untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis (pembayaran klaim) maupun untuk
pertumbuhan perusahaan[9].
Dalam suatu investasi di industri asuransi, seorang investor
memikul tanggung jawab diversible risk dan non-diversible risk[10].
Oleh karena itu, agar sebuah bisnis sukses dan menghasilkan untung,
hendaknya bisnis itu didasarkan atas keputusan yang sehat, bijaksana, dan
hati-hati. Hasil yang akan dicapai dengan pengambilan keputusan yang sehat dan
bijak ini akan nyata dan tahan lama.
Menurut Al-Qur’an, bisnis yang menguntungkan adalah sebuah bisnis
yang keuntungannya bukan hanya terbatas untuk kehidupan di dunia ini. Namun,
keuntungan itu juga bisa dinikmati diakhirat kelak dengan keuntungan yang
berlipat ganda. Al-Qur’an berkali-kali mengatakan bahwa kenikmatan di dunia ini
jika dibandingkan dengan kenikmatan yang ada di alam akhirat tidaklah ada
artinya sama sekali[11].
B.
Instrumen Investasi pada Asuransi Syari’ah
Instrumen investasi syari’ah di Indonesia saat ini masih dalam
tahap tumbuh dan berkembang. Beberapa instrumen investasi asuransi syari’ah
atau islami yang sudah ada saat ini dan menjadi outlet investasi bagi
asuransi syariah adalah sebagai berikut:
Ø Investasi ke bank-bank umum syariah, seperti Bank Muamalat
Indonesia dan Bank Syariah Mandiri.
Ø Investasi ke bank umum yang memiliki cabang syariah, seperti BNI
syariah, BRI syariah, BII syariah, Bank IFI syariah, dan sebagainya.
Ø Investasi ke Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Mal
wat Tamwil (BMT)
Ø Investasi langsung ke perusahaan-perusahaan yang tidak menjual
barang-barang haram atau maksiat dengan sistem mudharabah, wakalah, wadiah, dan
sebagainya.
Ø Investasi ke lembaga keuangan syariah lainnya, seperti reksadana
syariah, modal ventura syariah, leasing syariah, pegadaian syariah, obligasi
syariah di BEJ, koperasi syariah, dan sebagainya.
7.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN INVESTASI ASURANSI KONVENSIONAL DAN
INVESTASI ASURANSI SYARIAH.
Persamaan pelaksanaan investasi dana asuransi pada asuransi
konvensional dan asuransi syariah yaitu pada tujuan dalam menjalankan fungsi
investasi, untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan berupa hasil dari
investasi dana asuransi dan juga pada pedoman dalam menjalankan kegiatan
investasi.
Pada asuransi konvensional perbedaannya yaitu :
1.
Prinsip
yang digunakan atas dasar untung/rugi dengan sistem bunga.
2.
Pengelolaan
dana, semua dana peserta (premi) yang terkumpul menjadi satu dan statusnya
adalah dana milik perusahaan yang bebas digunakan oleh perusahaan.
3.
Perikataannya
yang dibuat di awal dengan penentuan persentase bunga bagi nasabah asuransi.
4.
Yang
diutamakan adalah keuntungan semata.
Pada asuransi syariah, perbedaannya adalah :
1.
Prinsip
yang digunakan berdasarkan hukum Islam bahwa perusahaan selaku pemegang amanah
(mudharib) yang dipercaya pemilik dana (shahibul mal) melakukan investasi
terhadap dana tersebut.
2.
Dalam
berinvestasi menggunakan konsep sistem mudharabah
3.
Asuransi
syariah harus mematuhi fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI).
4.
Pengelolaan
dana atas dasar saling bertanggung jawab dan tolong menolong.
5.
Keuntungan
yang diperoleh dari hasil investasi dibagi dua antara perusahaan dan peserta
asuransi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Prinsip pokok dalam investasi syariah
adalah Rabbani, Halal, dan Maslahah.
Investasi yang dilarang secara
syar’i dikelompok ke dalam dua macam kategori :
Ø Investasi yang Syubhat.
Ø Investasi yang Haram.
Apabila
investasi dilakukan dalam bentuk penyertaan modal dalam sebuah perusahaan, maka
pihak asuransi harus mengetahui bahwa perusahaan tersebut tidak
memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan. Seandainya investasi dalam
bentuk deposito, maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa bank tepat dana
asuransi tersebut didepositokan adalah bank-bank yang tidak beroprasi pada
sistem bunga, tetapi dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
portofolio
adalah kumpulan bentuk investasi yang terpadu untuk tujuan mendapatkan keuntungan
investasi. Tujuan utama dari pembentukan suatu bentuk portofolio investasi
adalah tidak lain agar mendapatkan hasil yang optimal dengan resiko yang
minimal.
instrumen
investasi asuransi syari’ah atau islami yang sudah ada saat ini dan menjadi outlet
investasi bagi asuransi syariah adalah sebagai berikut:
Ø Investasi ke bank-bank umum syariah
Ø Investasi ke bank umum yang memiliki cabang syariah
Ø Investasi ke Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Mal
wat Tamwil (BMT)
Ø Investasi langsung ke perusahaan-perusahaan yang tidak menjual
barang-barang haram atau maksiat dengan sistem mudharabah, wakalah, wadiah, dan
sebagainya.
Ø Investasi ke lembaga keuangan syariah lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Iwan P. Pontjowinoto, Prinsip Syariah Di Pasar Modal (Pandangan Praktisi),
2003, Modal Publications, Jakarta.
Iggi H Achsien, Investasi Syariah Dipasar Modal, 2000, Gramedia,
Jakarta.
Endy Astiwara, Investasi Islam Di Pasar Modal (Tesis), 1999,
Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, The Internasional
Institute Of Islamic Thought, Pakistan.
Ali mustafa Ya’qub. Pengelolaan Dana Asuransi Syari’ah. 2001
(makalah)
Lawrence J. Gitman & Michael D. Joehnk, Fundamental Of
Investing, Harper & Row Publisher, New York, 1981.
Evert B. Sumual, Aplikasi Manajemen Sains terhadap Optimalisasi
Investasi di Sebuah Perusahaan Asuransi Jiwa, AAMAI, Jakarta, 2000.
Santoso, Budi Totok, Triandaru Sigit, Bank Dan
Lembaga Keuangan Lain, Edisi 2 ,Salemba Empat, Jakarta, 2006
Kashmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainya,
Edisi Ke Enam PT Raja grafindo Persada, Jakarta.2002
Darmawi, Herman, Pasar Financial Dan
Lembaga-Lembaga Finansial, Bumi Akasara, Jakarta, 2006.
[1] Iwan P.
Pontjowinoto, Prinsip Syariah Di Pasar Modal (Pandangan Praktisi), 2003,
Modal Publications, Jakarta, hlm. 45.
[2] Ibid hlm.
37.
[3] Iggi H
Achsien, Investasi Syariah Dipasar Modal, 2000, Gramedia, Jakarta, hlm. 126.
[4] Endy
Astiwara, Investasi Islam Di Pasar Modal (Tesis), 1999, Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Hlm. 104-111.
[5] Mustaq
Ahmad, Business Ethics In Islam, The Internasional Institute Of Islamic
Thought, Pakistan, Hlm. 44
[6] Dikutip
dari Endy Muhammad Astiwara, op.cit, hlm. 111-139.
[7] Ali
mustafa Ya’qub. Pengelolaan Dana Asuransi Syari’ah. 2001 (makalah)
[8] Lawrence
J. Gitman & Michael D. Joehnk, Fundamental Of Investing, Harper
& Row Publisher, New York, 1981, hlm. 554
[9] Evert B.
Sumual, Aplikasi Manajemen Sains terhadap Optimalisasi Investasi di Sebuah
Perusahaan Asuransi Jiwa, AAMAI, Jakarta, 2000, hlm. 7.
[10] Lawrence
J. Gitman & Michael D. Joehnk. Op. Cit, hlm. 124 & 555.
[11] Surah
al-Anfaal: 67, ar-Ra’d: 26, al-Israa: 19, al-Kahfi: 46.
Bagus artikel Tentang Asuransi Syariah
BalasHapus