Ø Pengertian
Muhasabah
Secara
etimologi , kata akuntansi berasal dari bahasa Inggris, accounting,
dalam bahasa Arabnya disebut “ Muhasabah” yang berasal dari kata hasaba,
hasiba, muhasabah, atau wazan yang lain adalah hasaba, hasban, hisabah, artinya
menimbang, memperhitungkan mengkalkulasikan, mendata, atau menghisab, yakni
menghitung dengan seksama atau teliti yang harus dicatat dalam pembukuan
tertentu. Kata “hisab” banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dengan pengertian yang
hampir sama, yaitu berujung pada jumlah atau angka, seperti Firman Allah SWT:
QS.Al-Isra’ ayat 12
Artinya :
Dan
Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam
dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu,
dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala
sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.
QS.Al-Thalaq ayat 8
Artinya :
Dan
berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka
dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang
keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan
QS.Al-Insyiqah ayat 8
Artinya :
maka
dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah
Kata
hisab dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan pada bilangan atau perhitungan yang
ketat, teliti, akurat, dan accountable. Oleh karena itu, akuntasi adalah
mengetahui sesuatu dalam keadaan cukup, tidak kurang dan tidak pula lebih.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Akuntansi Syariah
adalah suatu kegiatan identifikasi, klarifikasi, dan pelaporan melalui dalam
mengambil keputusan ekonomi berdasarkan prinsip akad-akad syariah, yaitu tidak
mengandung zhulum (Kezaliman), riba, maysir (judi), gharar (penipuan), barang
yang haram, dan membahayakan.
·
Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi
yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk
menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai
suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam
masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa
dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari
kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu
menganjurkan yang baik dan melarang apa yang tidak baik.
·
Menurut Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid
dalam buku Akuntansi Syariah halaman 57 mendefinisikan akuntansi sebagai
berikut :
ü ”Muhasabah,
yaitu suatu aktifitas yang teratur berkaitan dengan pencatatan
transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, keputusan-keputusan yang sesuai dengan
syari’at dan jumlah-jumlahnya, di dalam catatan-catatan yang representatif,
serta berkaitan dengan pengukuran dengan hasil-hasil keuangan yang berimplikasi
pada transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan tersebut
untuk membentu pengambilan keputusan yang tepat. Melalui definisi ini kita
dapat membatasi karakteristik muhasabah dalam poin-poin berikut ini :
a. Aktifitas
yang teratur.
b. Pencatatan
(transaksi, tindakan, dan keputusan yang sesuai hukum, jumlah-jumlahnya, dan di
dalam catatan-catatan yang representatif)
c. Pengukuran
hasil-hasil keuangan.
d. Membantu
pengambilan keputusan yang tepat.
·
Menurut Sofyan S. Harahap dalam
mendefinisikan :” Akuntansi Islam atau Akuntansi syariah pada hakekatnya adalah
penggunaan akuntansi dalam menjalankan syariah Islam. Akuntansi syariah ada dua
versi, Akuntansi syariah yang yang secara nyata telah diterapkan pada era
dimana masyarakat menggunakan sistem nilai Islami khususnya pada era Nabi SAW,
Khulaurrasyidiin, dan pemerintah Islam lainnya. Kedua Akuntansi syariah yang
saat ini muncul dalam era dimana kegiatan ekonomi dan sosial dikuasai ( dihegemony)
oleh sistem nilai kapitalis yang berbeda dari sistem nilai Islam. Kedua jenis
akuntansi itu bisa berbeda dalam merespon situasi masyarakat yang ada pada
masanya. Tentu akuntansi adalah produk masanya yang harus mengikuti kebutuhan
masyarakat akan informasi yang disuplainya”
Ø Landasan
Hukum
Dalam
beberapa disiplin ilmu pengetahuan akuntansi merupakan ilmu informasi yang
mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan
pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account,
perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan
laba. Sebagaimana firmannya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 282) yang
berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya…”
Dalam
Al Quran juga dijelaskan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan
dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran
dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam
hal ini, Al-Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surat
Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:
”Sempurnakanlah takaran dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah
kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran
dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba
perusahaan, sehingga seorang akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan
adil. Agar pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi
auditing. Pada Islam, fungsi auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana
yang dijelaskan dalam surat Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Sesuai
dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an, kita harus menyempurnakan pengukuran di
atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam neraca, sebagaimana digambarkan
dalam Surat Al-Isra’ ayat 35 yang berbunyi:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila
kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari
paparan di atas dapat disimpulan, bahwa kaidah akuntansi dalam konsep Islam
dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen,
yang disimpulkan dari sumber-sumber syari’ah Islam dan dipergunakan sebagai
aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis,
pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan
suatu kejadian atau peristiwa. Dasar hukum dalam akuntansi syari’ah bersumber
dari Al Quran dan Sunah Rasul, serta adat yang tidak bertentangan dengan
syari’ah Islam. Kaidah-kaidah akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik
khusus yang membedakan dari kaidah akuntansi konvensional. Kaidah-kaidah akuntansi
syari’ah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin
ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan
Akuntansi tersebut.
Menurut,
Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”,
Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum
kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam akuntansi
Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus
dipatuhi, yaitu hukum syari’ah yang berasal dari Allah SWT. yang bukan ciptaan
manusia, dan akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief”
yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial,
bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan
mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Allah SWT. yang memiliki Akuntan
sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja di
bidang ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan pelaksanaan hukum syari’ah
lainnya. Jadi, konsep akuntansi dalam Islam jauh lebih dahulu dari konsep
akuntansi konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang
belum terpikirkan oleh pakar-pakar akuntansi konvensional. Sebagaimana firman
Allah SWT. dalam surat An-Nahl: 89, yang berbunyi:
“… Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Ø Aplikasi
Pada Lemaga
Akuntansi
syari’ah tentunya tidak lepas dari konsep dan aturan yang tertera dalam
Al-Qur’an. Sehingga dalam prinsipnya pun diambil dari Al-Qur’an surat
al-Baqoroh ayat 282, dimana terdapat tiga prinsip akuntansi syari’ah, yaitu
pertanggungjawaban, keadilan dan kebenaran. Ketiga prinsip ini sudah menjadi
dasar dalam aplikasi akuntansi syari’ah. Adapun maksud dari ketiga prinsip
tersebut adalah sebagai berikut.
a.
Pertanggungjawaban
(Accountability)
Prinsip pertanggungjawaban (accountability),
merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim.
Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim,
persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan Sang Khalik mulai
dari alam kandungan. Manusia dibebani oleh Allah SWT. untuk menjalankan fungsi
kekhalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan
amanah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses
pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi
dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik
bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan
diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.
b.
Prinsip
Keadilan
Menurut penasiran Al-Qu’an surat
Al-Baqarah; 282 terkandung prinsip keadilan yang merupakan nilai penting dalam
etika kehidupan sosial dan bisnis, dan nilai inheren yang melekat dalam
fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki
kapasitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya. Pada
konteks akuntansi, menegaskan kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah,
dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai
transaksi adalah sebesar Rp. 265 juta, maka akuntan (perusahaan) harus mencatat
dengan jumlah yang sama dan sesuai dengan nominal transaksi. Secara sederhana
dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dengan kata lain tidak ada window
dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.
c.
Prinsip
Kebenaran
Prinsip ini sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, dalam akuntansi kita selalu
dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat
dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini
akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan
tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Maka, pengembangan akuntansi Islam,
nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam
praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran
membentuk akuntansi syari’ah dapat diterangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar