Selasa, 18 September 2012

Istilah2 Dalam Fiqh Muamalah


1.      MUHAQALAH
Haqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah. Jabir seorang perowi hadist mentafsirkan “Al-Muhaqalah”, bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli padi yang dilakukan oleh seseorang dari seseorang dengan harga 100 berbeda dari gandum, Abu Abid mentafsirkan bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli makanan, yaitu berupa benih. Dan Malik mentafsirkannya mengambil padi yang sebagian sedang tumbuh dan hal yang semacam ini (menurut Malik) adalah sama dengan mukhobaroh. Dan jauh lebih dalam mengenai tafsiran ini bahwasanya sahabat lebih mengetahui dengan tafsiran yang telah diriwayatkannya, dan telah ditafsirkan oleh Jabir dengan apa yang telah ia ketahui seperti yang telah diriwayatkan oleh syafi’i. 

v  Hadist Nabi Tentang Muhaqalah
-          Dari Jabir bin 'Abdillah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. melarang praktek muhaqalah, muzabanah dan mukhabarah. Beliau juga melarang menjual buah sebelum terlihat baiknya dan tidak boleh dijual melainkan dengan uang dinar dan dirham, kecuali 'araya," (HR Muslim [1536]).
-          عن جابر رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المحاقلة, والمزابنة, والمخابرة, وعن ثنيا, إلا أن تعلم. (رواه الخمسة إلا ابن ماجه, وصححه الترميذي)
Artinya : Dan dari Jabirin ra. : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang (jual beli) muhaqalah, muzabanah, mukhabarah, dan tentang tsun-yi, kecuali jika diketahui. (Diriwayatkan oleh lima rawi kecuali Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Tirmidzi).

v  Mekanisme Kerja
Jual beli gandung yang masih dibulirnya dengan takaran semisal kemudian dibayar berupa gandum juga berdasarkan taksiran, tidak diketahui mana yang lebih banyak. Gandum termasuk harta ribawi, sehingga harus jelas takarannya. Gandum yang masih dibulir tidak bisa diketahui kecuali hanya dengan taksiran, Taksiran itu tidak bisa tepat, melainkan lebih sedikit atau lebih banyak, dan itu adalah riba.Riba adalah haram, oleh karwna itu, jual beli seperti ini adalah batil. Adapun jual beli dengan bayaran berupa uang, maka pada kondisi seperti ini boleh dilakukan jual beli, dengan ketentuan jika gandum itu sudah keras (layak panen)

v  Kaitannya Dengan Lembaga Keuangan Syariah
Akad kerja sama bagi hasil dalam perkebunan dimana hasil perkebunan dibagi antara pengelola kebun dengan pemilik kebun berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam aplikasi perbankan, pihak bank syariah bertindak selaku penyedia kebun, dan nasabah bertindak selaku pengelola.

v  Fatwa dan hukumnya
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
1)      Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
2)      Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3)      Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. 
Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya. Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.


2.      IHTIKAR
Ihtikar  menurut bahasa adalah penimbunan, sedangkan menurut istilah,  Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Ihtikar secara bahasa menurut Imam Fairuz Abadi artinya mengumpulkan, menahan barang dengan harapan untuk mendapatkan harga yang mahal.
Menurut Imam Ibn Mandzur mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahannya, dengan maksud untuk menunggu naiknya harga makanan tersebut.
Ada pula yang mendifinisikan sebagai menahan komoditas dan tidak menjualnya sampai harga komoditas tersebut menjadi mahal.
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan dari peredarannya.”
Imam Ghazali mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.”
Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan, “penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan dan pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar.” Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang yang ditimbun beda.
Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat suatu komoditas, dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat "embargo" yang dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.


v  Dalil dan Hadist Nabi,
-          Surat At Taubah ayat 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

-          Dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ”Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”. (H.R.Tarmizi)
-          Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat." (HR. At-Tabrani dai ma'qil bin Yasar)
-          Rasulullah saw. berkata, "Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah." (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
-          Rasulullah saw. bersabda, "Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya." (HR. Ibnu Umar).

v  Mekanisme dan implikasinya dengan lembaga keuangan syariah (pasar modal),
melakukan rekayasa penawaran untuk mendapatkan keuntungan di atas laba normal, dengan cara mengurangi supply agar harga jual naik.

v  Fatwa dan hukumnya
Hukum ihtikar adalah : haram
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
- Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.
-   Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an (hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
- Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
-  Asy Syaukani mengatakan, “Kesimpulannya, ‘illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin”.
- At Tirmidzi berkata [sunan III/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.

-  Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”
-  Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
-  Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
- Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
-  An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
- Kemudian para ulama berpendapat, “Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, “Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang benar.”"

3.      BAI’ ‘INAH
Yaitu apabila ada seseorang menjual barang dagangan kepada orang lain dengan pembayaran tempo (kredit), kemudian sipenjual membeli kembali barang itu secara tunai dengan harga lebih rendah dari harga awal sebelum hutangnya dibayar lunas. Jual beli ini adalah suatu helah dan rekayasa untuk mendapatkan pinjaman uang dengan bayaran tambahan. Jual beli ini haram dan batil, karena ia adalah sarana menuju riba. Jika ia membelinya setelah menerima harganya, atau setelah berubah sifatnya, atau dari selain pembelinya, hukumnya boleh.

v  Mekanisme Dan Aplikasinya Pada Bank Syariah
Bank syariah memberikan qardh kepada nasabah, dan nasabah wajib melunasi cicilan ditambah margin keuntungan yang ditentukan.

v  Fatwa Dan Hukumnya
Selain karena bai’ul Innah mengandung ikhtilaf, DSN-MUI memandang lebih jauh yaitu kemashlahatan  atau kemudharatan yang akan ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan otoritas pemberi fatwa di negara ini masih berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian (Qaidah Sadduzzarai’) dalam rangka mendekatkan diri pada konsep Islam yang sesungguhnya.

v  Hadist Nabi, “Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Daud dan lain-lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam ash-Shahihah No. 11).

4.      TAWARRUQ
Yaitu apabila seseorang membutuhkan uang kontan & ia tdk menemukan orang yg memberikan pinjaman, maka ia boleh membeli sesuatu komoditi/barang secara bertempo, kemudian ia menjualnya bukan kpd yg pertama & mengambil manfaat dgn harganya.

v  Fatwa Dan Hukumnya
Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum At-Tawarruq ini :
1)      Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan pendapat Iyas bin Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (4/398), Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (8/232) dan Al-Mudayanah, Syaikh Sholih Al-Fauzan dalam Al-Farq Bainal Bai’i war Riba fii Asy-Syari’atul Islamiyah dan dalam Al-Muntaqo dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (4/399-400).
2)      Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia yang disebutkan dalam kitab 99 tanya-jawab dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.

v  Mekanisme Kerja Dan Aplikasinya Dalam Bank Syari’ah
Nasabah membeli secara cicilan dari Bank, lalu dikembalikan ke bank untuk dijual tunai. Nasabah memperoleh uang cash, dan nasabah memiliki kewajiban bayar cicilan pada bank.

5.      AL QARDHUL HASAN
Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan.
Qardhul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, dimana peminjam tidak berkewajiban untuk mengembalikan apa pun kecuali modal pinjaman dan biaya administrasi

v  Fatwa dan hukumnya,
Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IX/2000 yaitu,
Pertama: Ketentuan Umum al-Qardh
1)      Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2)      Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
3)      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4)      LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
5)      Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6)      Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
a.    memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b.    menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua: Sanksi
1)      Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengem-balikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2)      Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.
3)      Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.
Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
1)      Bagian modal LKS;
2)      Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
3)      Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Keempat :
1)      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2)      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Dalil Alquran,
-  مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًاكَثِيرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah Swt., pinjaman yang baik, maka Allah Swt. Akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan sebanyak-banyaknya”. (QS Al-Baqarah:245).
-          وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا ۖ وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ ۖ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۚ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.

v  Mekanisme Kerja Dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah
Pinjaman-Qard, sebagai produk pelengkap untuk memenuhi kebutuhan dana mendesak, dan atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak bersifat komersial. Pinjaman Qard diberikan dengan jangka waktu yang sangat pendek. Sumber dana Pinjaman-Qard ini diperoleh dari modal LKS sendiri. Penyajian Pinjaman-Qard dilakukan dalam Aktiva Lain-Lain. Al-Qardhul Hassan, untuk memenuhi kebutuhan bersifat sosial. Sumber dana diperoleh dari dana ekstern dan bukan berasal dari dana LKS sendiri. Dana Al-Qardhul Hassan diperoleh dari dana kebajikan seperti a.l. Zakat, Infaq dan Sadaqah. Pinjaman Al-Qardhul Hassan tidak dibukukan dalam Neraca LKS, tetapi dilaporkan dalam Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Al Qardhul Hassan
















Daftar Pustaka
Karim Business Consulting, 2003
Heri Sudarsono, (2008), Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 139
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52
Ghufron A. Mas’adi, op. cit, hlm. 140
Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Pustaka Imam Asy Syafi’i.
Al Qur’an dan Terjemahan Digital.
Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhu al-Islami wa Adillatihi.
 Rusyd, Ibnu. Tarjamah Bidayatul Mujtahid. Diterjemahkan oleh M. A. Abdurrahman, dkk. Semarang: Asy Syifa. 1990.
Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Pustaka Imam Asy Syafi’i.
www.mui.or.id/