1.
MUHAQALAH
Haqalah berarti
tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman
yang masih di ladang atau di sawah. Jabir seorang perowi hadist mentafsirkan
“Al-Muhaqalah”, bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli padi yang dilakukan oleh
seseorang dari seseorang dengan harga 100 berbeda dari gandum, Abu Abid
mentafsirkan bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli makanan, yaitu berupa benih.
Dan Malik mentafsirkannya mengambil padi yang sebagian sedang tumbuh dan hal
yang semacam ini (menurut Malik) adalah sama dengan mukhobaroh. Dan jauh lebih
dalam mengenai tafsiran ini bahwasanya sahabat lebih mengetahui dengan tafsiran
yang telah diriwayatkannya, dan telah ditafsirkan oleh Jabir dengan apa yang
telah ia ketahui seperti yang telah diriwayatkan oleh syafi’i.
v Hadist Nabi Tentang Muhaqalah
-
Dari Jabir bin 'Abdillah r.a, ia berkata, "Rasulullah
saw. melarang praktek muhaqalah, muzabanah dan mukhabarah. Beliau juga melarang
menjual buah sebelum terlihat baiknya dan tidak boleh dijual melainkan dengan
uang dinar dan dirham, kecuali 'araya," (HR Muslim [1536]).
-
عن جابر رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المحاقلة,
والمزابنة, والمخابرة, وعن ثنيا, إلا أن تعلم. (رواه الخمسة إلا ابن ماجه, وصححه
الترميذي)
Artinya : Dan dari Jabirin ra. : Sesungguhnya Rasulullah SAW
melarang (jual beli) muhaqalah, muzabanah, mukhabarah, dan tentang tsun-yi,
kecuali jika diketahui. (Diriwayatkan oleh lima rawi kecuali Ibnu Majah, dan
dishohihkan oleh Tirmidzi).
v Mekanisme Kerja
Jual beli gandung yang masih dibulirnya dengan
takaran semisal kemudian dibayar berupa gandum juga berdasarkan taksiran, tidak
diketahui mana yang lebih banyak. Gandum termasuk harta ribawi, sehingga harus
jelas takarannya. Gandum yang masih dibulir tidak bisa diketahui kecuali hanya
dengan taksiran, Taksiran itu tidak bisa tepat, melainkan lebih sedikit atau
lebih banyak, dan itu adalah riba.Riba adalah haram, oleh karwna itu, jual beli
seperti ini adalah batil. Adapun jual beli dengan bayaran berupa uang, maka
pada kondisi seperti ini boleh dilakukan jual beli, dengan ketentuan jika
gandum itu sudah keras (layak panen)
v Kaitannya Dengan Lembaga Keuangan
Syariah
Akad kerja sama bagi hasil dalam perkebunan dimana
hasil perkebunan dibagi antara pengelola kebun dengan pemilik kebun berdasarkan
nisbah yang disepakati. Dalam aplikasi perbankan, pihak bank syariah bertindak
selaku penyedia kebun, dan nasabah bertindak selaku pengelola.
v Fatwa dan hukumnya
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan
hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon
yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif
hukum sebagai berikut :
1) Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib
segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari
pihak penjual.
2) Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3) Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen)
sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya
dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual
buah-buahan sehingga tampak kebaikannya.
Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya,
yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah
berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap
di pohon hingga bercahaya. Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah)
berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan
harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi
halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama.
Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli
yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah
batal.
2.
IHTIKAR
Ihtikar menurut
bahasa adalah penimbunan, sedangkan menurut istilah, Ihtikar adalah
membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka
di pasaran dan harganya menjadi naik.
Ihtikar secara bahasa menurut Imam Fairuz Abadi artinya mengumpulkan,
menahan barang dengan harapan untuk mendapatkan harga yang mahal.
Menurut Imam Ibn
Mandzur mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahannya, dengan maksud
untuk menunggu naiknya harga makanan tersebut.
Ada pula yang
mendifinisikan sebagai menahan komoditas dan tidak menjualnya sampai harga
komoditas tersebut menjadi mahal.
Imam Muhammad bin Ali
Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan dari peredarannya.”
Imam Ghazali
mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk
menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.”
Sementara para ulama
Mazhab Maliki mendefinisikan dengan, “penyimpanan barang oleh produsen: baik
makanan dan pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar.” Secara esensi
ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas menyimpan barang yang
dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika harga telah melonjak,
barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang yang ditimbun beda.
Dari
paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat,
atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya
kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas
atau stok barang hilang sama sekali dari
pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan
amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat
suatu komoditas, dan bahkan jasa dari
para pemberi jasa; dengan syarat "embargo" yang dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa
membuat harga pasar tidak stabil, padahal
komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.
v Dalil dan Hadist Nabi,
-
Surat At Taubah ayat
34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى
بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ
لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
“Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam,
lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu
dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
-
Dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, Aku mendengar
Rasulullah Saw bersabda, ”Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah
(berdosa)”. (H.R.Tarmizi)
-
Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang merusak harga
pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan
menempatkannya di dalam neraka pada hari
kiamat." (HR. At-Tabrani dai ma'qil bin Yasar)
-
Rasulullah saw. berkata, "Siapa yang melakukan
penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik
secara tajam, maka ia telah berbuat
salah." (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
-
Rasulullah saw. bersabda, "Para pedagang yang menimbun
barang makanan (kebutuhan
pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan
(hubungan dengan)-nya." (HR. Ibnu
Umar).
v Mekanisme dan implikasinya dengan
lembaga keuangan syariah (pasar modal),
melakukan rekayasa penawaran untuk mendapatkan keuntungan di atas laba normal, dengan cara mengurangi supply agar harga jual naik.
melakukan rekayasa penawaran untuk mendapatkan keuntungan di atas laba normal, dengan cara mengurangi supply agar harga jual naik.
v Fatwa dan hukumnya
Hukum ihtikar adalah : haram
Hukum ihtikar adalah : haram
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
- Ulama Mazhab
Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum
ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu
berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai
kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam
bentuk apa pun.
- Menurut kalangan Mazhab
Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan
segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap
kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu,
pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah
fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an (hak orang lain terpelihara
secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak
konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan
penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan
dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang
banyak.
- Ulama Mazhab
Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa
mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan
alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam
kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
- Asy Syaukani
mengatakan, “Kesimpulannya, ‘illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang
itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak menimbulkan
kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok atau tidak,
asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin”.
- At Tirmidzi berkata
[sunan III/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka
melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain
bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit
kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
- Al Baghawi berkata
[Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah
ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan
barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong
barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang
memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim
panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”
- Diriwayatkan dari
Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga
melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang
menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan
pasar”.
- Sebagian ulama
berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja.
Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al
Mubarak dan Imam Ahmad.
- Imam Ahmad berkata, “Penimbunan
barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau
tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad,
karena kapal dapat berlabuh di sana“.
- An Nawawi berkata
[Syarh Shahih Muslim XI/43], “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan
haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan
adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat
harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia
simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari
kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena
kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar
dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan
dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
- Kemudian para ulama berpendapat,
“Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang
meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan
ulama lainnya mengatakan, “Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah
minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan
bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian
juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang
benar.”"
3.
BAI’ ‘INAH
Yaitu apabila
ada seseorang menjual barang dagangan kepada orang lain dengan pembayaran tempo
(kredit), kemudian sipenjual membeli kembali barang itu secara tunai dengan
harga lebih rendah dari harga awal sebelum hutangnya dibayar lunas. Jual beli ini adalah suatu helah dan rekayasa untuk
mendapatkan pinjaman uang dengan bayaran tambahan. Jual beli ini haram
dan batil, karena ia adalah sarana menuju riba. Jika ia membelinya setelah
menerima harganya, atau setelah berubah sifatnya, atau dari selain pembelinya,
hukumnya boleh.
v Mekanisme Dan Aplikasinya Pada Bank
Syariah
Bank syariah memberikan qardh kepada nasabah, dan nasabah wajib
melunasi cicilan ditambah margin keuntungan yang ditentukan.
v Fatwa Dan Hukumnya
Selain karena bai’ul Innah mengandung ikhtilaf, DSN-MUI memandang
lebih jauh yaitu kemashlahatan atau
kemudharatan yang akan ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan otoritas
pemberi fatwa di negara ini masih berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian
(Qaidah Sadduzzarai’) dalam rangka mendekatkan diri pada konsep Islam yang
sesungguhnya.
v Hadist Nabi, “Apabila kalian telah berjual
beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian
telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan
menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya
sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Daud dan lain-lainnya dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albany dalam ash-Shahihah No. 11).
4.
TAWARRUQ
Yaitu apabila seseorang membutuhkan uang kontan & ia tdk
menemukan orang yg memberikan pinjaman, maka ia boleh membeli sesuatu
komoditi/barang secara bertempo, kemudian ia menjualnya bukan kpd yg pertama
& mengambil manfaat dgn harganya.
v Fatwa Dan Hukumnya
Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang
hukum At-Tawarruq ini :
1)
Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama
dan pendapat Iyas bin Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan
ini yang dikuatkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (4/398), Syaikh Sholih
Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (8/232) dan Al-Mudayanah, Syaikh Sholih
Al-Fauzan dalam Al-Farq Bainal Bai’i war Riba fii Asy-Syari’atul Islamiyah dan
dalam Al-Muntaqo dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy sebagaimana
dalam Taudhihul Ahkam (4/399-400).
2)
Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam
Ahmad dan pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia yang
disebutkan dalam kitab 99 tanya-jawab dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.
v Mekanisme Kerja Dan
Aplikasinya Dalam Bank Syari’ah
Nasabah membeli secara cicilan dari Bank, lalu dikembalikan
ke bank untuk dijual tunai. Nasabah memperoleh uang cash, dan nasabah memiliki
kewajiban bayar cicilan pada bank.
5.
AL QARDHUL HASAN
Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u
yang berarti memotong. Harta yang disodorkan kepada orang yang
berhutang disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang.Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan.
Qardhul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas
dasar kewajiban sosial semata, dimana peminjam tidak berkewajiban untuk
mengembalikan apa pun kecuali modal pinjaman dan biaya administrasi
v Fatwa dan hukumnya,
Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IX/2000 yaitu,
Pertama: Ketentuan Umum al-Qardh
1)
Al-Qardh adalah
pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2)
Nasabah al-Qardh wajib
mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati
bersama.
3)
Biaya administrasi
dibebankan kepada nasabah.
4)
LKS dapat meminta
jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
5)
Nasabah al-Qardh dapat
memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak
diperjanjikan dalam akad.
6)
Jika nasabah tidak
dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah
disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
a.
memperpanjang jangka
waktu pengembalian, atau
b.
menghapus (write off)
sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua: Sanksi
1) Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengem-balikan sebagian atau
seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan
sanksi kepada nasabah.
2) Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat
berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.
3) Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi
kewajibannya secara penuh.
Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
1) Bagian modal LKS;
2) Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
3) Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada
LKS.
Keempat :
1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
Dalil Alquran,
- مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًاكَثِيرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
“siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah Swt.,
pinjaman yang baik, maka Allah Swt. Akan melipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan sebanyak-banyaknya”.
(QS Al-Baqarah:245).
-
وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي
إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا ۖ وَقَالَ اللَّهُ
إِنِّي مَعَكُمْ ۖ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ
وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۚ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ
ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.
v Mekanisme Kerja Dan
Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah
Pinjaman-Qard, sebagai produk pelengkap untuk memenuhi kebutuhan dana mendesak, dan atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
lain yang tidak bersifat komersial. Pinjaman Qard diberikan dengan jangka waktu
yang sangat pendek. Sumber dana Pinjaman-Qard ini diperoleh dari modal LKS sendiri. Penyajian Pinjaman-Qard dilakukan
dalam Aktiva Lain-Lain. Al-Qardhul Hassan, untuk memenuhi kebutuhan bersifat
sosial. Sumber dana diperoleh dari dana ekstern dan bukan berasal dari dana LKS
sendiri. Dana Al-Qardhul Hassan diperoleh dari dana kebajikan seperti a.l.
Zakat, Infaq dan Sadaqah. Pinjaman
Al-Qardhul Hassan tidak dibukukan dalam Neraca LKS, tetapi dilaporkan dalam Laporan Sumber
dan Penggunaan Dana Al Qardhul Hassan
Daftar
Pustaka
http://www.mifc.com/repository/0291BI%20Islamic%20Finance%20ConferenceDr%20Nadratuzaman-DosenUIN.pdf
Karim Business
Consulting, 2003
Heri Sudarsono,
(2008), Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan ilustrasi, Ekonisia,
Yogyakarta
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali
Pers, Jakarta, 2002, hlm. 139
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV.
As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52
Ghufron A. Mas’adi, op. cit, hlm. 140
Ensiklopedi
Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali,
Pustaka Imam Asy Syafi’i.
Al Qur’an dan
Terjemahan Digital.
Zuhaili, Wahbah. Al
Fiqhu al-Islami wa Adillatihi.
Rusyd, Ibnu. Tarjamah
Bidayatul Mujtahid. Diterjemahkan oleh M. A. Abdurrahman, dkk.
Semarang: Asy Syifa. 1990.
Ensiklopedi Larangan
Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Pustaka Imam
Asy Syafi’i.
www.mui.or.id/